Ada tiga cara pengawetan Makanan, yaitu pengawetan secara alami, pengawetan secara biologis, pengawetan secara kimiawi.

Pengawetan secara alami meliputi pemanasan dan pendinginan, misalnya penyimpanan dikulkas dua pintu hot and cool.

Pengawetan secara biologis, misalnya peragian (fermentasi), adalah pengawetan dengan menggunakan jasa enzim. Enzim adalah suatu katalisator biologis yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan dapat membantu mempercepat bermacam-macam reaksi biokimia. Enzim yang terdapat dalam makanan dapat berasal dari bahan mentahnya atau mikroorganisme yang terdapat pada makanan tersebut.

Bahan makanan seperti daging, ikan, susu, buah-buahan dan biji-bijian mengandung enzim tertentu secara normal ikut aktif bekerja di dalam bahan tersebut.

Enzim dapat menyebabkan perubahan dalam bahan pangan. Perubahan itu bisa menguntungkan dan merugikan. Yang menguntungkan bisa dikembangkan semaksimal mungkin, yang merugikan harus dicegah. Perubahan yang terjadi dapat berupa rasa, warna, bentuk, kalori, dan sifat-sifat lainnya.

Enzim penting dalam pengolahan daging antara lain bromelin dari nenas, dan papain dari getah buah atau daun pepaya.

Enzim bromelin didapat dari buah nenas, digunakan untuk mengempukkan daging. Aktifitasnya dipengaruhi oleh kematangan buah, konsentrasi pemakaian dan waktu penggunaan. Untuk memperoleh hasil maksimum sebaiknya digunakan buah yang muda. Semakin banyak nenas yang digunakan, semakin cepat proses bekerjanya.

Enzim papain, berupa getah pepaya, disadap dari buahnya yang berumur 2,5 – 3 bulan. Dapat digunakan untuk mengempukkan daging, bahan penjernih pada industri minuman bir, industri tekstil, industri penyamakan kulit, industri pharmasi dan alat-alat kecantikan (kosmetik) dan lain-lain. Enzim papain biasa diperdagangkan dalam bentuk serbuk putih kekuningan, halus, dan kadar airnya 8%. Enzim ini harus disimpan dibawah suhu 60 derajat C. Pada 1 (satu) buah pepaya dapat dilakukan 5 kali sadapan. Tiap sadapan menghasilkan lebih kurang 20 gram getah. Getah dapat diambil setiap 4 hari dengan jalan menggores buah dengan pisau.

Pengawetan Kimiawi

Selain secara alami dan biologis, pengawetan juga bisa menggunakan bahan-bahan kimia seperti gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat, asam sitrat, garam sulfat dan lain-lain.

Proses pengasapan juga termasuk cara kimia sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke dalam makanan yang diawetkan. Apabila jumlah pemakaiannya tepat, pengawetan dengan bahan-bahan kimia dalam makanan sangat praktis karena dapat menghambat berkembangbiaknya mikroorganisme seperti jamur atau kapang, bakteri dan ragi.

Salah satu bahan pengawet kimiawi adalah asam sitrat (citric acid). Ia merupakan senyawa intermedier dari asam organik yang berbentuk kristal atau serbuk putih. Asam sitrat ini mudah larut dalam air, spiritus, dan ethanol, tidak berbau, rasanya sangat asam, serta jika dipanaskan akan meleleh kemudian terurai yang selanjutnya terbakar sampai menjadi arang.

Asam sitrat juga terdapat dalam sari buah-buahan seperti nenas, jeruk, lemon, markisa. Asam ini dipakai untuk meningkatkan rasa asam (mengatur tingkat keasaman) pada berbagai pengolahan minum, produk air susu, selai, jeli, dan lain-lain. Asam sitrat berfungsi sebagai pengawet pada keju dan sirup, digunakan untuk mencegah proses kristalisasi dalam madu, gula-gula (termasuk fordant), dan juga untuk mencegah pemucatan berbagai makanan, misalnya buah-buahan kaleng dan ikan. Larutan asam sitrat yang encer dapat digunakan untuk mencegah pembentukan bintik-bintik hitam pada udang. Penggunaan maksimum dalam minuman adalah sebesar 3 gram/liter sari buah.

Garam dapur (natrium klorida) juga termasuk bahan penghambat pertumbuhan mikroba. Sering digunakan untuk mengawetkan ikan dan dan juga bahan-bahan lain. Penggunaan maksimum dalam minuman adalah sebesar 3 gram/liter per sari buah.

Demikian pula gula pasir, misalnya dapat digunakan sebagai pengawet dan lebih efektif bila dipakai dengan tujuan menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagai bahan pengawet, penggunaan gula pasir minimal 3% atau 30 gram/kg bahan. Itulah beberapa contoh pengawet yang relatif aman. Tapi lantaran pedagang ingin praktis dan untung banyak, justru pengawet mayat formalin yang banyak digunakan. Bila hal ini dilandasi prinsip “tujuan menghalalkan segala cara “(al ghoyah tubarrirul washilah) maka pelakunya layak dikenai sanksi.

Bahaya Formalin bisa dibaca pada tulisan selanjutnya.